Rabu, 10 Februari 2010

holding company

Apakah holding company BUMN merupakan solusi tepat untuk membenahi carut-marutnya pengelolaan BUMN di negeri ini. Atau, justru akan menimbulkan masalah yang lebih besar

(Jawapos, 25 Jan 2004) Pemerintah belum lama ini merencanakan pembentukan satu holding company (induk perusahaan) yang akan memayungi lebih dari 150 BUMN. Struktur pengelola perusahaan induk itu akan diisi manajer profesional. Sistem yang diterapkan juga sistem korporat, sebagaimana yang lazim pada perusahaan bisnis komersil (koran ini, 21/12/2004).

Rencana itu, selain menunjukkan bahwa aspirasi Indonesia Incorporated belum sepenuhnya terkubur dari benak sebagian masyarakat dan pejabat di negeri ini, juga menandakan pergeseran strategi penyehatan BUMN dari privatisasi ke korporatisasi. Dengan privatisasi, pemerintah menyerahkan kepemilikan sebagian atau sepenuhnya kepada masyarakat. Sementara itu, pada korporatisasi -yang biasanya diiringi pembentukan holding perusahaan- pemerintah menyerahkan pengelolaan kepada para profesional. Penerapan mekanisme korporat tetap mempertahankan kepemilikan.

Harapan utama korporatisasi adalah peningkatan kinerja dan tanggung jawab pengelola perusahaan negara, yang selama ini dirasakan belum optimal, meski privatisasi telah dilakukan.
***
Namun, benarkah strategi korporatisasi itu mampu memperbaiki lemahnya tata kelola BUMN? Apakah dengan korporatisasi serta merta terhilangkan keharusan privatisasi lebih lanjut?

Jawaban pertanyaan tersebut amat tegas: tidak. Berikut beberapa argumen yang disintesiskan dari wacana ekonomi dan pengalaman objektif di Indonesia untuk menopang pendapat itu.

Pertama, meski korporatisasi akan memberikan definisi property rights yang lebih tegas pada BUMN, berupa pemisahan batas-batas antara kepemilikan (negara) dan kepengelolaan, di satu sisi, hal itu akan menciptakan iklim lebih kondusif bagi tata kelola perusahaan.

Di sisi lain, pembentukan holding company akan mengakibatkan terpusatnya kendali pertangungjawaban dan pengawasan yang rawan penyelewengan dalam skala lebih besar. Terutama, bila pembentukan lembaga sentral tersebut sejak awal dimotivasi aspirasi politik dan semangat yang jauh dari rasionalitas ekonomi.

Kemungkinan ke arah terakhir itu dapat disimak dari pengalaman pemerintah mendirikan institusi sejenis, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sebab, konsep BPPN tidak jauh berbeda dengan konsep perusahaan induk BUMN yang akan dibentuk, walau memiliki perbedaaan tujuan. Ide dasar kedua badan tersebut adalah pembentukan lembaga super yang menjadi sentral pengelolaan aset negara. Keduanya juga menerapkan mekanisme korporat dan memakai jasa profesional di luar birokrasi pemerintah.

Dalam perjalanannya, BPPN sarat dengan berbagai isu tak sedap, mulai suap, kolusi, penyalahgunaan wewenang, hingga penghamburan uang negara. Mekanisme korporat yang diterapkan berikut strategi mempekerjakan para profesional sama sekali tidak berarti.

Gaji selangit dan fasilitas memadai, bahkan melebihi yang diberikan perusahaan publik papan atas, tidak berbanding lurus dengan kinerja badan tersebut. Itu terlihat dari tingkat recovery rate yang hanya sebesar 28%, bahkan perhitungan lain dari Center for Banking Crisis (CBC) menunjukkan tingkat yang lebih rendah lagi sekitar 1% hingga 2,9%.

Dari situ, korporatisasi terbukti bukan jaminan perbaikan kinerja lembaga yang mengelola aset negara. Sebaliknya, korporatisasi yang diiringi sentralisasi pengelolaan justru bisa mendatangkan kerugian dalam skala yang lebih tidak terperikan.

Kedua, keberhasilan strategi korporatisasi akan sangat bergantung pada kemampuan menciptakan satu struktur reward and punishment, yang setara antara perusahaan negara dan perusahaan publik, sehingga dapat menghapuskan perbedaan insentif yang berkaitan dengan kepemilikan. Sebab, dalam perusahaan yang sahamnya dimiliki publik, terdapat insentif dan pengawasan pasar bagi pengelola untuk meningkatkan nilai aset dan menekan biaya perusahaan.

Sementara itu, pada perusahaan negara, yang kepemilikannya ada pada pemerintah dan pengelola sebatas pekerja yang tidak memiliki klaim terhadap aset serta untung-rugi perusahaan, ada keterbatasan insentif dan pengawasan pemerintah yang megakibatkan rendahnya motivasi pengelola untuk meningkatkan kinerja perusahaan negara.

Dalam praktiknya, sulit bagi pemerintah merancang satu struktur insentif dan pengawasan yang dapat secara penuh menjembatani perbedaaan tersebut. Sebab, ada ketimpangan informasi antara pengelola dan pemerintah, sehingga mustahil diciptakan satu bentuk pengawasan memadai bagi pengelola yang lebih mengetahui isi perusahaan berikut seluk-beluk permasalahannya.

Ketiga, langkah pembentukan perusahaan induk akan menyebabkan munculnya masalah collective action problem (persoalan tindakan kolektif) baru pada beberapa BUMN yang telah diprivatisasi sebagian. Pemegang saham BUMN minoritas akan semata-mata mengandalkan (free ride) pengawasan perusahaan induk, tanpa aktif berpartisipasi dan mengeluarkan biaya.

Dengan kata lain, sebagaimana yang kerap diamati dalam banyak konteks ekonomi, ketika bombardir peran pemerintah menggusur mekanisme alami yang ada, akan terdapat satu efek pendesakan keluar (crowding-out effect) mekanisme pasar dengan pembentukan perusahaan induk BUMN.

Hal itu selain memberatkan beban pemerintah, mengingat tidak mudah dan murah untuk mengawasi BUMN dengan berbagai spefikasi bidang dan lapangan usaha, juga menihilkan berbagai upaya restrukturisasi dan privatisasi parsial yang telah dilakukan. Sebab, bukankah salah satu tujuan restrukturisasi dan privatisasi parsial selama ini ialah menyerahkan sebagian tanggung jawab dan biaya pengawasan kepada pasar?

Terakhir, korporatisasi selain tidak menjamin bebas intervensi, juga menimbulkan permasalahan ekonomi politik baru. Korporatisasi dan pembentukan induk BUMN bisa mengakibatkan terkooptasinya kementerian BUMN dan pihak legislatif (DPR/DPRD) sebagai penetap berbagai perundang-undangan bila tidak diwaspadai.

Fenomena itu dikenal sebagai regulatory capture dan bisa terjadi bila pengelola perusahaan induk, sebagai pihak yang lebih mengetahui duduk persoalan dan detail kondisi BUMN, mampu memanipulasi kalangan birokrat di kementerian BUMN serta pihak legislatif untuk membuat peraturan yang akan menguntungkan tujuan mereka, walau merugikan rakyat dan negara.

Praktik tersebut, setidaknya pada kalangan DPR, berpeluang cukup besar mengingat masih kurangnya lembaga pendukung wacana industri dan BUMN pada anggota legislatif. Selain itu, seperti ditengarai banyak pihak, maraknya budaya amplop dalam berbagai sidang komisi disebabkan rentannya anggota dewan terhadap penyuapan.

Karena itu, patut diduga upaya penyehatan BUMN melalui pembentukan satu lembaga super holding company bukan hanya akan gagal, tapi juga bisa menjerumuskan. Sebab, selain sukar menciptakan satu struktur insentif dan mekanisme pengawasan yang sempurna, juga karena lemahnya institusi pendukung seperti hukum dan politik.

Jadi, bila pemerintah berkeras mengadopsi strategi tersebut, setidaknya proses privatisasi harus tetap dilakukan. Sebab, meski privatisasi mungkin kompleks dan sarat berbagai isu, bila diimplementasikan dengan benar, sejatinya itu masih merupakan solusi paling tepat untuk persoalan BUMN yang masih menjerat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar