Rabu, 17 Februari 2010

Hedging buat Si Kecil

SETIAP negara pasti menginginkan perekonomiannya tetap tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan ekonomi didorong berbagai faktor. Di antaranya kinerja ekspor yang meningkat, investasi yang membesar, perluasan kesempatan kerja, dan masih banyak faktor lainnya. Faktor-faktor itu sangat rentan dengan perubahan kurs, ketika setiap perubahan kurs mata uang akan berarti pula mengubah target dan kinerja ekonomi makro.
Demikian halnya negara kita yang menganut rezim devisa bebas dan nilai tukar mengambang (floating), sangat rentan terhadap perubahan nilai kurs rupiah terhadap US$. Aliran dana masuk (capital inflow) dan keluar (capital flight) yang begitu besar serta sulit dikendalikan, telah membuat nilai tukar rupiah berfluktuasi cukup besar dan cepat sehingga semakin sulit diperkirakan.
Sejak sistem nilai tukar mengambang bebas diterapkan di Indonesia, dimulai pada bulan Agustus 1998, nilai tukar rupiah terhadap US$ secara akumulatif telah terdepresiasi sebesar 48,7% sampai dengan Desember 2001. Walaupun tidak proporsional, depresiasi rupiah terhadap US$ tersebut telah pula mendepresiasi nilai rupiah terhadap hard currencies lainnya.

Kenyataan ini telah mengakibatkan perdebatan banyak ahli tentang sumber ketidakstabilan nilai tukar tersebut, apakah disebabkan oleh faktor ekonomi ataukah faktor non-ekonomi. Dengan mengetahui sumber penyebabnya, maka akan lebih mudah bagi para ahli dan penyelenggara negara untuk merumuskan solusi. Pengalaman pahit itu telah pula menggugah pertanyaan tentang instrumen yang paling efisien yang dapat digunakan dunia usaha dan unit pelaku ekonomi lain sebagai sarana lindung nilai terhadap fluktuasi.
Catatan lain menunjukkan bahwa fluktuasi tingkat bunga rupiah yang cukup tajam di triwulan IV-2005 telah menimbulkan kepanikan sektor keuangan, terutama reksadana penghasilan tetap dan reksadana pasar uang. Sejak itu, banyak pelaku bisnis yang melontarkan gagasan perlunya perdagangan berjangka tingkat bunga difasilitasi di Tanah Air.
Pada dataran makro, ada hipotesis yang tampaknya perlu dijawab secara empiris: apakah perdagangan berjangka rupiah dan tingkat bunga dalam jangka panjang akan membawa dampak stabilisasi atau destabilisasi terhadap subyek komoditi (underlying asset) tersebut. Bagi otoritas moneter, pertanyaan yang tak kalah penting adalah apakah intervensi atau sterilisasi lebih efektif dilakukan melalui pasar spot atau pasar derivatif yang terorganisir?
Tidak dapat dimungkiri, hampir semua kehidupan lapisan masyarakat dapat dipengaruhi oleh naik turunnya kurs rupiah. Mulai dari kebutuhan orang tua yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri, sampai pada kebutuhan perusahaan eksportir atau importir yang transaksinya melibatkan US$ atau mata uang asing lainnya. Termasuk perusahaan besar yang mempunyai utang dalam mata uang US$, namun penghasilannya rupiah.
Ada banyak cara untuk mengantisipasi naik turunnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap US$. Dari mulai yang paling sederhana, yaitu menyimpan mata uang US$ ”di bawah bantal”, sampai dengan menggunakan instrumen keuangan derivatif, seperti forward dan swap yang disediakan oleh perbankan.
Belakangan ini, dengan makin meluasnya kebutuhan akan lindung nilai (hedging) nilai tukar rupiah terhadap US$—tidak saja dari kalangan pengusaha besar, melainkan juga dari pengusaha kecil bahkan rumah tangga—diperlukan instrumen hedging selain forward dan swap yang disediakan perbankan.
Diperlukannya instrumen derivatif selain forward dan swap, mengingat akses untuk forward dan swap di perbankan hanya dapat dilakukan perusahaan besar. Kebutuhan hedging bagi jumlah dana yang kecil (retail) tidak dapat dilakukan melalui fasilitas forward dan swap yang disediakan perbankan. Untuk itu diperlukan fasilitas lindung nilai lainnya untuk retail yang transparan, murah, dan mudah administrasinya.
Dalam hal ini, perdagangan berjangka rupiah yang dilakukan dalam bursa yang terorganisir akan mampu menyediakan fasilitas hedging untuk nilai tukar US$/IDR. Perdagangan yang dilakukan di bursa yang terorganisir, dengan melibatkan banyak pihak dan transparan, akan memberikan sarana price discovery bagi nilai tukar rupiah. Di samping itu, melalui perdagangan berjangka rupiah, pemerintah juga akan dapat memonitor jumlah perdagangan retail termasuk mengontrolnya jika diperlukan.
Seperti naik turunnya mata uang rupiah, naik turunnya tingkat suku bunga juga sangat memengaruhi sendi-sendi perekonomian. Becermin dari krisis ekonomi tahun 1998, ketika saat itu tingkat suku bunga mencapai 70% per tahun, maka Indonesia perlu memiliki juga instrumen hedging tingkat suku bunga, yaitu kontrak berjangka tingkat suku bunga (interest rate futures).

HEDGING NILAI TUKAR RUPIAH MELALUI KONTRAK GULIR INDEKS EMAS (KIE)
Dalam rangka membuka wacana dari otoritas moneter, para praktisi, pelaku usaha, serta pengamat ekonomi tentang perlunya perluasan pasar produk derivatif nilai tukar mata uang rupiah terhadap US$ dan tingkat suku bunga, Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) menyelenggarakan diskusi dan seminar nasional dengan tema ”Manfaat Perdagangan Berjangka Rupiah dan Tingkat Suku Bunga bagi Aktivitas Dunia Usaha dan Ekonomi”.
Untuk memenuhi kebutuhan akan instrumen lindung nilai tukar mata uang rupiah terhadap US$, BBJ sebenarnya sudah memiliki suatu produk yang mempunyai pergerakan harga identik dengan kurs US$/IDR. Produk tersebut adalah Kontrak Gulir Indeks Emas (KIE). KIE adalah suatu indeks dari perbandingan antara harga penyelesaian Kontrak Gulir Emas dengan harga emas Loco London. Angka indeks (KIE) ini identik dengan pergerakan nilai tukar US$ terhadap rupiah (US$/IDR).
Lindung nilai dengan produk KIE lebih fleksibel, karena KIE merupakan kontrak gulir yang tidak punya waktu jatuh tempo. KIE dapat diperpanjang (digulir) tanpa batas waktu, setiap saat bisa membuka dan menutup kontrak sesuai perubahan ekspektasi, sehingga dapat digunakan untuk lindung nilai jangka panjang ataupun pendek. KIE juga lebih mudah dianalisis karena ekuivalen dengan kurs saat ini (spot), bukan kurs mendatang (forward).
Sebagai contoh. Pada 8 Januari, seorang importir memesan bahan baku US$ 1 juta dengan pembayaran tanggal 15 Januari. Saat itu nilai kurs spot Rp 9.000, sehingga ekuivalen Rp 9 miliar. Importir khawatir nilai tukar rupiah (IDR) terhadap US$ akan melemah menjadi Rp 9.100 yang berarti nilai pembelian bahan baku akan meningkat menjadi Rp 9,1 miliar atau bertambah Rp 100 juta. Untuk mengantisipasi hal itu, importir melakukan lindung nilai dengan mengambil posisi long (beli) KIE di BBJ sebanyak 100 lot (1 lot = Rp 10.000) atau ekuivalen US$ 1 juta pada angka Rp 9.000. Tanggal 15 Januari, ia melikuidasi (tutup) posisinya pada Rp 9.100. Beda tingkat bunga deposito US$ dan rupiah 0,011934 % per hari. Diasumsikan harga penyelesaian setiap hari tetap, yaitu Rp 9.000.
Dengan posisi seperti di atas, maka rekening importir akan didebet atau dipotong karena mempunyai posisi long KIE (beli US$) sebesar Rp 7.518.420 ( jumlah lot x contract multiplier x beda bunga x hari x settlement price = 100 x Rp 10.000 x 0,011934% x 7 x Rp 9.000). Jumlah bunga yang dibayarkan investor yang punya posisi beli akan dibayarkan pada lawan transaksinya, yaitu investor yang punya posisi jual (short).
Oleh karena kurs naik dari angka Rp 9.000 menjadi Rp 9.100 dan posisi importir adalah beli, maka rekening importir akan dikredit (bertambah) Rp 100.000.000 (Rp 9.100 – Rp 9.000 x 100 x Rp 10.000). Dengan demikian total keuntungan importir = Rp 100.000.000 – Rp 7.518.420 = Rp 92.481.580.
Sehingga total tambahan biaya importir dari pembelian bahan baku karena perubahan kurs rupiah hanya sebesar Rp 100.000.000-Rp 92.481.580 = Rp 7.518.420, atau hanya sebesar biaya perbedaan suku bunga dan biaya transaksi kontrak gulir KIE. Dalam hal ini biaya transaksi diasumsikan tidak ada. 


Berikan Komentar untuk artikel ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar