Sabtu, 20 Juni 2009

UU 5/1986 Pasal 53-144

BAB IV
HUKUM ACARA

Bagian Pertama
Gugatan
Pasal 53
(1) Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi.
(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputsan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.

Pasal 54
(1) Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
(2) Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
(3) Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukummnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
(4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
(5) Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(6) Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat.

Pasal 55
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Pasal 56
(1) Gugatan harus memuat :
a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau kuasanya;
b. nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan.
(2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah.
(3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara. yang disengketakan oleh penggugat.

Pasal 57
(1) Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh seorang atau beberapa orang kuasa.
(2) Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus atau dapat dilakukan secara lisan di persidangan.
(3) Surat kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan di negara yang bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut, serta kemudian diterjemaahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.

Pasal 58
Apabila dipandang perlu Hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh seorang kuasa.

Pasal 59
(1) Untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara, yang besarnya ditaksir oleh Panitera Pengadilan.
(2) Setelah penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan dicatat dalam daftar perkara oleh Panitera Pengadilan.
(3) Selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari sesudah gugatan dicatat, Hakim menentukan hari, jam, dan tempat persidangan, dan menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan tempat yang ditentukan.
(4) Surat panggilan kepada tergugat disertai sehelai salinan gugatan dengan pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis.

Pasal 60
(1) Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengeketa dengan cuma-cuma.
(2) Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah di tempat kediaman pemohon.
(3) Dalam keterangan tersebut harus dinyatkan bahwa pemohon itu betul-betul tidak mampu membayar biaya perkara.


Pasal 61
(1) Permohonan gebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 harus diperiksa dan ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa.
(2) Penetapan ini diambil di tingkat pertama dan terakhir.
(3) Penetapan Pengadilan yang telah mengabulkan permohonan penggugat untuk bersengketa dengan cuma-cuma di tingkat pertama, juga berlaku di tingkat banding dan kasasi.

Pasal 62
(1) Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal :
a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan;
b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperringatkan;
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat;
e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
(2) a. Penetapan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya;
b. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan.
(3) a. Terhadap penetapan sebgaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan;
b. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
(4) Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat.
(5) Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka penetapan sebgaimana dimaksud dalmn ayat (1) gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.

(6) Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.

Pasal 63
(1) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
(2) Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim:
a. wajib memberi nasihar kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari;
b. dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka Hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
(4). Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.

Pasal 64
(1) Dalam menentukan hari sidang, Hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat persidangan.
(2) Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari enam hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat sebagaimana diatur dalam Bagian Kedua Paragraf 2.

Pasal 65
Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah, apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat.

Pasal 66
(1) Dalam hal salah satu pihak berkedudukan atau berada di luar wilayah Republik Indonesia, Ketua Pengadilan yang bersangkutan melakukan pemanggilan dengan cara meneruskan surat penetapan hari sidang beserta salinan gugatan tersebut kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
(2) Departemen Luar Negeri segera menyampaikan surat penetapan hari sidang beserta salinan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melalui Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dalain wilayah tempat yang bersangkutan berkedudukan atau berada.
(3) Petugas Perwakilan Republik Indonesia dalam jangka waktu tujuh hari sejak dilakukan pemanggilan tersebut, wajib memberi laporan kepada Pengadilan yang bersangkutan.

Pasal 67
(1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.
(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
(4) Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) :
a. dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan;
b. tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.

Bagian Kedua
Pemeriksaan di Tingkat Pertama
Paragraf 1
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pasal 68
(1) Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara dengan tiga orang Hakim.
(2) Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan.
(3) Pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dalam persidangan dipimpin oleh Hakim Ketua Sidang.
(4) Hakim Ketua Sidang wajib menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap ditaati setiap orang dan segala perintahnya dilaksanakan dengan baik.

Pasal 69
(1) Dalam ruang sidang setiap orang wajib menunjukkan sikap, perbuatan, tingkah laku, dan ucapan yang menjungjung tinggi wibawa, martabat, dan kehormatan Pengadilan dengan menaati tata tertib persidangan.
(2) Setiap orang yang tidak menaati tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), setelah mendapat peringatan dari dan atas perintah Hakim Ketua Sidang, dikeluarkan dari ruang sidang.
(3) Tindakan Hakim Ketua Sidang terhadap pelanggaran tata tertib sebagaimana ditnaksud dalam ayat (2), tidak mengurangi kemungkinan dflakukan penuntutan, jika pelanggaran itu merupakan tindak pidana.

Pasal 70
(1) Untuk keperluan pemeriksaan, Hakiin Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakannya terbuka uuntuk umum.
(2) Apabila Majehs Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.
(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan demi hukum.

Pasal 71
(1) Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun setiap kali dipanggil dengan patut, gugatan dinyatakan gugur dan penggugat harus membayar biaya perkara.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali lagi sesudah membayar uang muka biaya perkara.

Pasal 72
(1) Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali sidang berturut-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggujawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan Surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat badir dan/atau menanggapi gugatan.
(2) Dalam hal setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan Surat tercatat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat.
(3) Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.

Pasal 73
(1) Dalam hal terdapat lebih dari seorang tergugat dan seorang atau lebih di antara mereka atau kuasanya tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, pemeriksaan sengketa itu dapat ditunda sampai hari sidang yang ditentukan Hakim Ketua Sidang.
(2) Penundaan sidang itu diberitahukan kepada pihak yang hadir, sedang terhadap pihak yang tidak hadir oleh Hakim Ketua Sidang diperintahkan untuk dipanggil sekali lagi.
(3) Apabila pada hari penundaan sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tergugat atau kuasanya masih ada yang tidak hadir, sidang dilanjutkan tanpa kehadirannya.

Pasal 74
(1) Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang, dan jika tidak ada surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya.
(2) Hakim Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan seperlunya hal yang diajukan oleh mereka masing-masing.

Pasal 75
(1) Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatan hanya sampai dengan replik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat, dan hal tersebut harus saksaina oleh Hakim.
(2) Tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat dan hal tersebut harus dipertimbangkan dengan saksama oleh Hakim.

Pasal 76
(1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban.
(2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan,oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pangadilan hanya apabila disetujui tergugat.

Pasal 77
(1) Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan apabila Hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib menyatakan bahwa Pangadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan.
(2) Eksepsi tentang kewenangan relatif Pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa.
(3) Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan Pengadilan hanya dapat diputus bersama dengan pokok sengketa.

Pasal 78
(1) Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai, dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera.
(2) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semanda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum.
(3) Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus diganti, dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa telah diputus, maka sengketa tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.

Pasal 79
(1) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri apabila ia berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa.
(2) Pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan atas kehendak Hakim atau Panitera, atau atas permintaan salah satu atau pihak-pihak yang bersengketa.
(3) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) maka pejabat Pengadilan yang berwenang yang menetapkan.
(4) Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus diganti dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa telah diputus, maka sengketa tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.

Pasal 80
Demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang berhak di dalam sidang memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.

Pasal 81
Dengan izin Ketua Pengadilan, penggugat, tergugat, dan penasihat hukum dapat mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya.

Pasal 82
Para pihak yang bersangkutan dapat membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

Pasal 83
(1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai :
a. pihak yang membela haknya; atau
b. peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara sidang.
(3) Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.

Pasal 84
(1) Apabila dalam persidangan seorang kuasa melakukan tindakan yang melampaui batas wewenangnya, pemberi kuasa dapat mengajukan sangkalan secara tertutis disertai tuntutan agar tindakan kuasa tersebut dinyatakan batal oleh Pengadilan.
(2) Apabila sangkalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, maka Hakim wajib menetapkan dalam putusan yang dimuat dalam berita acara sidang bahwa tindakan kuasa itu dinyatakan batal dan selanjutnya dihapus dari berita acara pemeriksaan.
(3) Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibacakan dan/atau diberitahukan kepada para pihak yang bersangkutan.

Pasal 85
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dan apabila Hakim Ketua Sidang memandang perlu ia dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap surat yang dipegang oleh Pejabat Tata Usaha Negara, atau pejabat lain yang menyimpan surat, atau meminta penjelasan dan keterangan tentang sesuatu yang bersangkutan dengan sengketa.
(2) Selain hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim Ketua Sidang dapat memerintahkan pula supaya surat tersebut diperlihatkan kepada Pengadilan dalam persidangan yang akan ditentukan untuk keperluan itu.
(3) Apabila surat itu merupakan bagian dari sebuah daftar, sebelum diperlihatkan oleh penyimpannya, dibuat salinan surat itu sebagai ganti yang asli selama surat yang asli belum diterima kembali dari Pengadilan.
(4) Jika pemeriksaan tentang benarnya suatu surat menimbulkan persangkaan terhadap orang yang masih hidup bahwa surat itu dipalsukan olehnya, Hakim Ketua Sidang dapat mengirimkan surat yang bersangkutan ini kepada penyidik yang berwenang, dan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dapat ditunda dahulu sampai putusan perkara pidananya dijatuhkan.

Pasal 86
(1) atas permintaan salah satu pihak, atau karena jabatannya, Hakim Ketua Sidang dapat memerintahkan seorang saksi untuk didengar dalam persidangan.
(2) Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun telah dipanggil dengan patut dan Hakim cukup mempunyai alasan untuk menyangka bahwa saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua Sidang dapat memberi perintah supaya Saki dibawa oleh polisi ke persidangan.
(3) Seorang saksi yang tidak bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan tidak diwajibkan datang di Pangadilan tersebut, tetapi pemeriksaan saksi itu dapat diserahkan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman saksi.

Pasal 87
(1) Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang.
(2) Hakim Ketua Sidang menanyakan kepada saksi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat tinggal, agama atau kepercayaannya, pekerjaan, derajat hubungan keluarga, dan hubungan kerja dengan penggugat atau tergugat.
(3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya.

Pasal 88
Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah :
a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa;
b. isteri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai;
c. anak yang belum berusia tujuh belas tahun;
d. orang sakit ingatan.

Pasal 89
(1) Orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian ialah :
a. saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak;
b. setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya diwajibkan merahasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan, atau jabatannya itu.
(2) Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diserahkan kepada pertimbangan Hakim.

Pasal 90
(1) Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh salah satu pihak disampaikan melalui Hakim Ketua Sidang.
(2) Apabila pertanyaan tersebut menurut pertimbangan Hakim Ketua Sidang tidak ada kaitannya dengan sengketa, pertanyaan itu ditolak.

Pasal 91
(1) Apabila penggugat atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, Hakim Ketua Sidang dapat mengangkat seorang ahli alih bahasa.
(2) Sebelum melaksanakan tugasnya ahli alih bahasa tersebut wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya untuk mengalihkan bahasa yang dipahami oleh penggugat atau saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya dengan sebaik-baiknya.
(3) Orang yang menjadi saksi dalam sengketa tidak boleh ditunjuk sebagai ahli alih bahasa dalam sengketa tersebut.

Pasal 92
(1) Dalam hal penggugat atau saksi bisu, dan/atau tuli dan tidak dapat menulis, Hakim Ketua Sidang dapat mengangkat orang yang pandai bergaul dengan penggugat atau saksi sebagai juru bahasa.
(2) Sebelum melaksanakan tugasnya juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya
(3) Dalam hal penggugat atau saksi bisu dan/atau tuli tetapi pandai menulis, Hakim Ketua Sidang dapat menyuruh menuliskan pertanyaan atau teguran kepadanya, dan menyuruh menyampaikan tulisan itu kepada penggugat atau saksi tersebut dengan perintah agar ia menuliskan jawabannya, kemudian segala pertanyaan dan jawaban harus dibacakan.

Pasal 93
Pejabat yang dipanggil sebagai saksi wajib datang sendiri di persidangan.

Pasal 94
(1) Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji dan di dengar dalam persidangan Pengadilan dengan dihadiri oleh para pihak yang bersengketa.
(2) Apabila yang bersengketa telah dipanggil secara patut, tetapi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka saksi dapat di dengar keterangannya tanpa hadirnya pihak yang bersengketa.
(3) Dalam hal saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di persidangan karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum, Hakim dibantu oleh Panitera datang di tempat kediaman saksi untuk mengambil sumpah atau janjinya dan mendengar saksi tersebut.

Pasal 95
(1) Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada suatu hari persidangan, pemerficsaan dflanjutkan pada hari persidangan berikutnya.
(2) Lanjutan sidang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak, dan bagi mereka pemberitahuan ini disamakan dengan panggilan.
(3) Dalam hal salah satu pihak yang datang pada hari persidangan pertama ternyata tidak datang pada hari persidangan selanjutnya Hakim Ketua Sidang menyuruh memberitahukan kepada pihak tersebut waktu, hari, dan tanggal persidangan berikutnya.
(4) Dalam hal pihak sebagaimana dalam ayat (3) tetap tidak hadir tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan sekalipun ia telah diberitahu secara patut, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan tanpa kehadirannya.
Pasal 96
Dalam hal selama pemeriksaan sengketa ada tindakan yang harus dilakukan dan memerlukan biaya, biaya tersebut harus dibayar dahulu oleh pihak yang mengajukan permohonan untuk dilakukannya tindakan tersebut.

Pasal 97
(1) Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan masing-masing.
(2) Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut.
(3) Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.
(4) Apabila musyawarah majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis berikutanya.
(5) Apabil dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan.
(6) Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka untuk umum, atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak.
(7) Putusan Pengadilan dapat berupa :
a. gugatan ditolak;
b. gugatan dikabulkan;
c. gugatan tidak diterima;
d. gugatan gugur.
(8) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
(9) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa :
a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau
b. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
c. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.
(10) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti rugi.
(11) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi.

Paragraf 2
Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
Pasal 98
(1) Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
(2) Ketua Pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
(3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum.

Pasal 99
(1) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2)menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
(3) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi empat belas hari.

Bagian Ketiga
Pembuktian
Pasal 100
(1) Alat bukti ialah :
a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan saksi;
d. pengakuan para pihak;
e. pengetahuan Hakim.
(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

Pasal 101
Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis ialah :
a. akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
b. akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
c. surat-surat lainnya yang bukan akta.

Pasal 102
(1) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.
(2) Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan Pasal 88 tidak boleh memberikan keterangan ahli.

Pasal 103
(1) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya Hakim Ketua Sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli.
(2) Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

Pasal 104
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri.

Pasal 105
Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim.

Pasal 106
Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.

Pasal 107
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.

Bagian Keempat
Putusan Pengadilan
Pasal 108
(1) Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan Pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.
(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 109
(1) Putusan Pengadilan harus memuat :
a. Kepala putusan yang berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;
c. ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan.
(3) Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah putusan Pengadilan diucapkan, putusan itu harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera yang turut bersidang.
(4) Apabila Hakim Ketua Majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat Hakim Ketua Sidang berhalangan menandatangani, maka putusan Pengadilan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dengan menyatakan berhalangannya Hakim Ketua Majelis atau Hakim Ketua Sidang tersebut.
(5) Apabila Hakim Anggota Majelis berhalangan menandatangani, maka putusan Pangadilan ditandatangani oleh Hakim Ketua Majelis dengan menyatakan berhalangannya Hakim Anggota Majelis tersebut.

Pasal 110
Pihak yang dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagian dihukum membayar biaya perkara.

Pasal 111
Yang termasuk dalam biaya perkara ialah :
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai;
b. biaya saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang meminta pemeriksaan lebih dari lima orang saksi harus membayar biaya untuk saksi yang lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan;
c. biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah Hakim Ketua Sidang.

Pasal 112
Jumlah baiya perkara yang harus dibayar oleh penggugat dan/atau tergugat disebut dalam amar putusan akhir Pengadilan.

Pasal 113
(1) Putusan Pengadilan yang bukan putusan akhir meskipun diucapkan dalam sidang, tidak dibuat sebagai putusan tersendiri melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang.
(2) Pihak yang berkepentingan langsung dengan putusan Pengadilan dapat meminta supaya diberikan kepadanya salinan resmi putusan itu dengan membayar biaya salinan.

Pasal 114
(1) Pada setiap pemeriksaan, Panitera harus membuat berita acara sidang yang memuat segala sesuatu yang terjadi dalam sidang.
(2) Berita acara sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua Sidang dan Panitera; apabila salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu dinyatakan dalam berita acara tersebut.
(3) Apabila Hakim Ketua Sidang dan panitera berhalangan menandatangani, maka berita acara ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dengan menyatakan berhalangannya Hakim Ketua Sidang dan Panitera tersebut.

Bagian Kelima Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pasal 115
Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan.

Pasal 116
(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari.
(2) Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(4) Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.
(5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu dua bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.

Pasal 117
(1) Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11) apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna malaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan/atau memperoleh kekautan hukum tetap, ia wajib memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dan penggugat.
(2) Dalam waktu tiga puluh hari setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang telah mengirimkan putusan. Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut agar tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkannya.
(3) Ketua Pengadilan setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memerintahkan memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan tercapainya persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan kepada tergugat.
(4) Apabila setelah diusahakan untuk mencapai persetujuan tetatapi tidak dapat diperoleh kata sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi lain tersebut, Ketua Pengadilan dengan penetapan yang disertai pertimbangan yang cukup menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang dimaksud.
(5) Penetapan Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat diajukan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan kembali.
(6) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), wajib ditaati kedua belah pihak.

Pasal 118
(1) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) berisi kewajiban bagi tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9), ayat (10), dan ayat (11), pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan menurut ketentuan Pasal 83 dan ia khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan dilaksanakannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dapat mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa itu pada tingkat pertama.
(2) Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat diajukan pada saat sebelum putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dilaksanakan dengan memuat alasan-alasan tentang permohonannya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56; terhadap permohonan perlawanan itu berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63.
(3) Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dengan sendirinya mengakibatkan ditundanya pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut.

Pasal 119
Ketua Pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Bagian Keenam
Ganti Rugi
Pasal 120
(1) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban membayar ganti rugi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (10) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh
Rehabilitasi
Pasal 121
(1) Dalam hal gugatan yang berkaitan dengan bidang kepegawaian dikabulkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11), salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban melaksanakan rehabilitasi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.

Bagian Kedelapan
Pemeriksaan di Tingkat Banding
Pasal 122
Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Pasal 123
(1) Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara sah.
(2) Permohonan pemeriksaan banding disertai pembayaran uang muka biaya perkara banding lebih dahulu, yang besarnya ditaksir oleh Panitera.

Pasal 12
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan putusan akhir hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir.

Pasal 125
(1) Permohonan pemeriksaan banding dicatat oleh Panitera dalam daftar perkara.
(2) Panitera memberitahukan hal tersebut kepada pihak terbanding.

Pasal 126
(1) Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihakbahwa mereka dapat melihat berkas perkara di kantor Pengadilan Tata Usaha Negara dalam tenggang waktu tiga puluh hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut.
(2) Salinan putusan, berita acara, dan surat lain yang bersangkutan harus dikirimkan kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara selambat-lambatnya enam puluh hari sesudah pernyataan permohonan pemeriksaan banding.
(3) Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori banding serta surat keterangan dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan ketentuan bahwa salinan memori dan/atau kontra memori diberikan kepada pihak lainnya dengan perantaraan Penitera Pengadilan.

Pasal 127
(1) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa dan memutus perkara banding dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim.
(2) Apabila Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sidang sendiri untuk mengadakan pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan melaksanakan pemeriksaan tambahan itu.
(3) Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara yang diajukan kepadanya, sedang Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berpendapat lain, Pengadilan Tinggi tersebut dapat memeriksa dan memutus sendiri perkara itu atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan memeriksa dan memutusnya.
(4) Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam waktu tiga puluh hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi beserta surat pemeriksaan dan surat lain kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama.

Pasal 128
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku juga bagi pemeriksaan di tingkat banding.
(2) Ketentuan tentang hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) berlaku juga antara Hakim dan/atau Panitera di tingkat banding dengan Hakim atau Panitera di tingkat pertama yang telah memeriksa dan memutus perkara yang sama.
(3) Apabila seorang Hakim yang memutus di tingkat pertama kemudian menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi, maka Hakim tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama di tingkat banding.

Pasal 129
Sebelum permohonan pemeriksaan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon, dan dalam hal permohonan pemeriksaan banding telah dicabut, tidak dapat diajukan lagi meskipun jangka waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau.

Pasal 130
Dalam hal salah satu pihak sudah menerima baik putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, ia tidak dapat mencabut kembali pernyataan tersebut meskipun jangka waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau.
Bagian Kesembilan
Pemeriksaan di Tingkat Kasasi

Pasal 131
(1) Terhadap putusan tingkat terakhir Pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.
(2) Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Bagian Kesepuluh
Pemeriksaan Peninjauan Kembali
Pasal 132
(1) Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Acara pemeriksaan peninjauan kembah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

BAB V
KETENTUAN LAIN
Pasal 133
Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para hakim

Pasal 134
Ketua Pengadilan membagikan semua berkas dan/atau surat lainnya yang berhubungan dengan sengketa yang diajukan ke Pengadilan kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan.

Pasal 135
(1) Dalam hal Pengadilan memeriksa dan memutus perkara Tata Usaha Negara tertentu yang memerlukan kealdian khusus, maka Ketua Pengadilan dapat menunjuk seorang Hakim Ad Hoc sebagai Anggota Majelis.
(2) Untuk dapat ditunjuk sebagai Hakim Ad Hoc seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kecuali huruf e dan huruf f.
(3) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c tidak berlaku bagi Hakim Ad Hoc.
(4) Tata cara penunjukkan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan Pemerintah.

Pasal 136
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diperiksa dan diputus berdasarkan nomor urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu yang menyangkut kepentingan umum dan yang harus segera diperiksa, maka pemeriksaan perkara itu didahulukan.

Pasal 137
Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.

Pasal 138
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti bertugas membantu Hakim untuk mengikuti dan mencatat jalannya sidang Pengadilan.

Pasal 139
(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di kepaniteraan.
(2) Dalam daftar perkara tersebut setiap perkara diberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya.

Pasal 140
Panitera membuat sarnan putusan Pengadilan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 141
(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan pihak ketiga, surat-surat berharga, barang bukti, dan surat-surat lainnya yang disimpan di kepaniteraan.
(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak boleh dibawa ke luar ruang kerja kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua Pengadilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 142
(1) Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut Undang-undang ini belum diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.
(2) Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut Undang-undang ini sudah diajukan kepada Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetapi belum diperiksa, dilimpahkan kepada Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

Pasal 143
(1) Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Menteri Kehakiman setelah mendengan pendapat Ketua Mahkamah Augng mengatur pengisian jabatan Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti, dan Wakil Sekretaris pada Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
(2) Pengangkatan dalam jabatan Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti, dan Wakil Sekretaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menyimpang dari persyaratan yang ditentukan dalam Undang-undang ini.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 144
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Peradilan Administrasi Negara".

Pasal 145
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya lima tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1986
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1986
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

SUDHARMONO, S.H.
--------------------------------
CATATAN
Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1986 YANG TELAH DICETAK ULANG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar