Sabtu, 20 Juni 2009

Per-66/PB/2005 Pasal 5-20

Pasal 5
Setelah menerima SPP, pejabat penerbit SPM menerbitkan SPM dengan
mekanisme sebagai berikut:
1. Penerimaan dan pengujian SPP
Petugas penerima SPP memeriksa kelengkapan berkas SPP, mengisi
check list kelengkapan berkas SPP, mencatatnya dalam buku
pengawasan penerimaan SPP dan membuat/ menandatangani tanda
terima SPP berkenaan. Selanjutnya petugas penerima SPP
menyampaikan SPP dimaksud kepada pejabat penerbit SPM.
2. Pejabat penerbit SPM melakukan pengujian atas SPP sebagai berikut:
a. Memeriksa secara rinci dokumen pendukung SPP sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
b. Memeriksa ketersediaan pagu anggaran dalam DIPA untuk
memperoleh keyakinan bahwa tagihan tidak melampaui batas pagu
anggaran.
c. Memeriksa kesesuaian rencana kerja dan/atau kelayakan hasil kerja
yang dicapai dengan indikator keluaran.
d. Memeriksa kebenaran atas hak tagih yang menyangkut antara lain:
1) Pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran (nama
orang/ perusahaan, alamat, nomor rekening dan nama bank);
2) Nilai tagihan yang harus dibayar (kesesuaian dan/atau
kelayakannya dengan prestasi kerja yang dicapai sesuai
spesifikasi teknis yang tercantum dalam kontrak);
3) Jadual waktu pembayaran.
e. Memeriksa pencapaian tujuan dan/atau sasaran kegiatan sesuai
dengan indikator keluaran yang tercantum dalam DIPA berkenaan
dan/atau spesifikasi teknis yang sudah ditetapkan dalam kontrak.
3. Setelah dilakukan pengujian terhadap SPP-UP/SPP-TUP/SPPGUP/
SPP-LS, Pejabat Penguji SPP dan Penandatangan SPM
menerbitkan SPM-UP/SPM-TUP/SPM-GUP/SPM-LS dalam rangkap 3
(tiga):
a. Lembar kesatu dan kedua disampaikan kepada KPPN.
b. Lembar ketiga sebagai pertinggal pada satker yang bersangkutan.
4. SPM Jasa Perbendaharaan/SPM PFK Bulog:
a. SPM Jasa Perbendaharaan adalah SPM-LS untuk pembayaran jasa
perbendaharaan kepada PT Pos Indonesia (Persero).
b. SPM PFK Bulog adalah SPM pembayaran perhitungan potongan
dana Bulog yang telah dilakukan oleh KPPN.
c. SPM dimaksud pada huruf a dan b diterbitkan oleh Subbagian
Umum KPPN setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan oleh
Seksi Bank/Giro Pos/Seksi Bendahara Umum terhadap kebenaran
dan kelengkapan tagihan yang diajukan oleh PT Pos Indonesia
(Persero)/Bulog.
5. SPM pengembalian (SPM KP, SPM KPBB, SPM KBC, SPM IB, SPM
BPHTB dan lain-lain) diatur tersendiri.
6. Pengembalian penerimaan negara bukan pajak yang terlanjur disetor ke
Rekening Kas Negara diatur sebagai berikut:
a. Bagi Kementerian Negara/Lembaga atau satker yang mempunyai
DIPA, SPM Pengembalian diterbitkan oleh satker yang
bersangkutan.
b. Bagi instansi/ badan/ pihak ketiga yang tidak mempunyai DIPA, SPM
Pengembalian diterbitkan oleh KPPN c.q. Subbagian Umum sesuai
ketentuan yang berlaku.
c. Untuk pengembalian sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b
SPM yang diterbitkan harus dilampiri surat keterangan dari KPPN
yang menyatakan bahwa penerimaan negara yang akan
dikembalikan kepada yang berhak telah dibukukan oleh KPPN.
d. Khusus untuk pengembalian sebagaimana dimaksud pada huruf a
SPM dimaksud harus dilampiri pula Surat Keterangan Tanggung
Jawab Mutlak (SKTJM) dari Kuasa PA.
7. Pengembalian pengeluaran anggaran yang telah disetor ke Rekening
Kas Negara dilakukan dengan SPM Pengembalian yang diterbitkan oleh
satker bersangkutan disertai surat keterangan pembukuan oleh KPPN
dan dilampiri Surat Setoran Pengembalian Belanja (SSPB) dengan
formulir sebagaimana lampiran 10.
8. SPM yang telah diterbitkan SP2D-nya oleh KPPN dan telah dicairkan
(telah dilakukan pendebetan rekening kas negara) tidak dapat
dibatalkan.
a. Perbaikan hanya dapat dilakukan terhadap kesalahan administrasi
sebagai berikut:
(1) Kesalahan pembebanan pada MAK;
(2) Kesalahan pencantuman kode fungsi, sub fungsi, kegiatan dan
sub kegiatan;
(3) Uraian pengeluaran yang tidak berakibat jumlah uang pada SPM.
b. Perbaikan SPM sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan oleh
Kuasa PA/ penerbit SPM. Selanjutnya SPM perbaikan dimaksud
dilampiri dengan SKTJM disampaikan kepada Kepala KPPN.

BAB IV
UANG PERSEDIAAN DAN TAMBAHAN UANG PERSEDIAAN

Pasal 6

(1) Kepada setiap satker dapat diberikan Uang Persediaan. Untuk
mengelola Uang Persediaan bagi satker di lingkungan Kementerian
Negara/Lembaga, sebelum diberlakukannya ketentuan dan/atau
dilakukannya pengangkatan pejabat fungsional Bendahara,
menteri/pimpinan lembaga atau pejabat yang diberi kewenangan
dapat mengangkat seorang Bendahara Pengeluaran pada
Kementerian Negara/Lembaga atau satker yang dipimpinnya.
(2) Untuk membantu pengelolaan Uang Persediaan pada kantor/satker di
lingkungan Kementerian Negara/Lembaga, kepala satker dapat
menunjuk Pemegang Uang Muka. Dalam pelaksanaan tugasnya
Pemegang Uang Muka bertanggung jawab kepada Bendahara
Pengeluaran.
(3) Bendahara pengeluaran dapat membagi uang persediaan kepada
beberapa PUM. Apabila diantara PUM telah merealisasikan
penggunaan UP-nya sekurang-kurangnya 75 %, Kuasa PA/ pejabat
yang ditunjuk dapat mengajukan SPM GUP bagi PUM berkenaan
tanpa menunggu realisasi PUM lain yang belum mencapai 75 %.

Pasal 7

(1) PA/Kuasa PA menerbitkan SPM-UP berdasarkan DIPA atas
permintaan Bendahara Pengeluaran yang dibebankan pada MAK
transito.
(2) Berdasarkan SPM-UP dimaksud pada ayat (1), KPPN menerbitkan
SP2D untuk rekening Bendahara Pengeluaran yang ditunjuk dalam
SPM-UP.
(3) Penggunaan UP menjadi tanggung jawab Bendahara Pengeluaran.
(4) Bendahara Pengeluaran melakukan pengisian kembali UP setelah UP
dimaksud digunakan (revolving) sepanjang masih tersedia dana dalam
DIPA.
(5) Bagi bendahara yang dibantu oleh beberapa PUM, dalam pengajuan
SPM-UP diwajibkan melampirkan daftar rincian yang menyatakan
jumlah uang yang dikelola oleh masing-masing PUM.
(6) Sisa UP yang masih ada pada bendahara pada akhir tahun anggaran
harus disetor kembali ke Rekening Kas Negara selambat-lambatnya
tanggal 31 Desember tahun anggaran berkenaan. Setoran sisa UP
dimaksud, oleh KPPN dibukukan sebagai pengembalian UP sesuai
MAK yang ditetapkan.
(7) UP dapat diberikan dalam batas-batas sebagai berikut:
a. UP dapat diberikan untuk pengeluaran-pengeluaran Belanja
Barang pada klasifikasi belanja 5211, 5212, 5221, 5231, 5241, dan
5811.
b. Diluar ketentuan pada butir a, dapat diberikan pengecualian untuk
DIPA Pusat oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan dan untuk
DIPA Pusat yang kegiatannya berlokasi di daerah serta DIPA yang
ditetapkan oleh Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan oleh Kepala
Kanwil Ditjen Perbendaharaan setempat.
c. UP dapat diberikan setinggi-tingginya:
1) 1/12 (satu per duabelas) dari pagu DIPA menurut klasifikasi
belanja yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) untuk pagu sampai
dengan Rp. 900.000.000 (sembilan ratus juta rupiah);
2) 1/18 (satu per delapanbelas) dari pagu DIPA menurut
klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP,
maksimal Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) untuk pagu
diatas Rp. 900.000.000 (sembilan ratus juta rupiah) sampai
dengan Rp. 2.400.000.000 (dua miliar empat ratus juta
rupiah);
3) 1/24 (satu per duapuluh empat) dari pagu DIPA menurut
klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP,
maksimal Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) untuk pagu
diatas Rp. 2.400.000.000 (dua miliar empat ratus juta rupiah);
d. Perubahan besaran UP di luar ketentuan pada butir c ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
e. Pengisian kembali UP sebagaimana dimaksud pada butir c dapat
diberikan apabila dana UP telah dipergunakan sekurangkurangnya
75 % dari dana UP yang diterima.
f. Dalam hal penggunaan UP belum mencapai 75 %, sedangkan
satker/ SKS yang bersangkutan memerlukan pendanaan melebihi
sisa dana yang tersedia, satker/ SKS dimaksud dapat mengajukan
TUP.
g. Pemberian TUP diatur sebagai berikut:
1) Kepala KPPN dapat memberikan TUP sampai dengan jumlah
Rp.200.000.000,- (duaratus juta rupiah) untuk klasifikasi
belanja yang diperbolehkan diberi UP bagi instansi dalam
wilayah pembayaran KPPN bersangkutan.
2) Permintaan TUP di atas Rp.200.000.000,- (duaratus juta
rupiah) untuk klasifikasi belanja yang diperbolehkan diberi UP
harus mendapat dispensasi dari Kepala Kanwil Ditjen
Perbendaharaan.
(8) Syarat untuk mengajukan Tambahan UP:
a. Untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak/ tidak dapat
ditunda;
b. Digunakan paling lama satu bulan sejak tanggal SP2D diterbitkan.
c. Apabila tidak habis digunakan dalam satu bulan sisa dana yang
ada pada bendahara, harus disetor ke Rekening Kas Negara;
d. Apabila ketentuan pada butir c tidak dipenuhi kepada satker yang
bersangkutan tidak dapat lagi diberikan TUP sepanjang sisa tahun
anggaran berkenaan.
e. Pengecualian terhadap butir d diputuskan oleh Kepala Kanwil
Ditjen Perbendaharaan atas usul Kepala KPPN.
(9) Dalam mengajukan permintaan TUP bendahara wajib menyampaikan:
a. Rincian Rencana Penggunaan Dana untuk kebutuhan mendesak
dan riil serta rincian sisa dana MAK yang dimintakan TUP.
b. Rekening Koran yang menunjukkan saldo terakhir.
c. Surat Pernyataan bahwa kegiatan yang dibiayai tersebut tidak
dapat dilaksanakan/dibayar melalui penerbitan SPM-LS.
(10) SPM UP/Tambahan UP diterbitkan dengan menggunakan kode
kegiatan untuk rupiah murni 0000.0000.825111, pinjaman luar negeri
9999.9999.825112, dan PNBP 0000.0000.825113.
(11) Penggantian UP, diajukan ke KPPN dengan SPM-GUP, dilampiri
SPTB, dan fotokopi Surat Setoran Pajak (SSP) yang dilegalisir oleh
Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk, untuk
transaksi yang menurut ketentuan harus dipungut PPN dan PPh.
(12) Pembayaran yang dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran
kepada satu rekanan tidak boleh melebihi Rp. 10.000.000 (sepuluh
juta rupiah) kecuali untuk pembayaran honor.

BAB V
PROSEDUR PENERBITAN
SURAT PERINTAH PENCAIRAN DANA

Pasal 8

Penyampaian SPM kepada KPPN dilakukan sebagai berikut:
1. Pengguna Anggaran/Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk
menyampaikan SPM beserta dokumen pendukung dilengkapi dengan
Arsip Data Komputer (ADK) berupa soft copy (disket) melalui loket
Penerimaan SPM pada KPPN atau melalui Kantor Pos, kecuali bagi
satker yang masih menerbitkan SPM secara manual tidak perlu ADK.
2. SPM Gaji Induk harus sudah diterima KPPN paling lambat tanggal 15
sebelum bulan pembayaran.
3. Petugas KPPN pada loket penerimaan SPM memeriksa kelengkapan
SPM, mengisi check list kelengkapan berkas SPM (format
sebagaimana lampiran 11), mencatat dalam Daftar Pengawasan
Penyelesaian SPM (format sebagaimana lampiran 12) dan
meneruskan check list serta kelengkapan SPM ke Seksi
Perbendaharaan untuk diproses lebih lanjut.

Pasal 9
Penerbitan SP2D oleh KPPN diatur sebagai berikut:
1. SPM yang diajukan ke KPPN digunakan sebagai dasar penerbitan
SP2D
2. SPM dimaksud dilampiri bukti pengeluaran sebagai berikut:
a. untuk keperluan pembayaran langsung (LS) belanja pegawai :
1) Daftar Gaji/Gaji Susulan/Kekurangan Gaji/Lembur/Honor dan
Vakasi yang ditanda tangani oleh Kuasa PA atau pejabat yang
ditunjuk dan Bendahara Pengeluaran;
2) Surat-surat Keputusan Kepegawaian dalam hal terjadi
perubahan pada daftar gaji;
3) Surat Keputusan Pemberian honor/vakasi dan SPK lembur;
4) Surat Setoran Pajak (SSP).
b. untuk keperluan pembayaran langsung (LS) non belanja pegawai :
1). Resume Kontrak/SPK atau Daftar Nominatif Perjalanan Dinas;
2) SPTB;
3) Faktur Pajak dan SSP (surat setoran pajak);
c. untuk keperluan pembayaran TUP :
1) Rincian rencana penggunaan dana;
2) Surat dispensasi Kepala Kantor Wilayah Ditjen.
Perbendaharaan untuk TUP diatas RP 200.000.000 (dua ratus
juta rupiah);
3) Surat Pernyataan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat
yang ditunjuk yang menyatakan bahwa:
a) Dana Tambahan UP tersebut akan digunakan untuk
keperluan mendesak dan akan habis digunakan dalam
waktu satu bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan SP2D;
b) Apabila terdapat sisa dana TUP, harus disetorkan ke
Rekening Kas Negara;
c) Tidak untuk membiayai pengeluaran yang seharusnya
dibayarkan secara langsung.
d. untuk keperluan pembayaran GUP :
1) SPTB;
2) Faktur Pajak dan SSP (surat setoran pajak);

Pasal 10
Bukti asli lampiran SPP merupakan arsip yang disimpan oleh PA/KPA.

Pasal 11

(1) Pengujian SPM dilaksanakan oleh KPPN mencakup pengujian yang
bersifat substansif dan formal.
(2) Pengujian substantif dilakukan untuk:
a. menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam
SPM;
b. menguji ketersediaan dana pada kegiatan/sub kegiatan/MAK
dalam DIPA yang ditunjuk dalam SPM tersebut;
c. menguji dokumen sebagai dasar penagihan (Ringkasan
Kontrak/SPK, Surat Keputusan, Daftar Nominatif Perjalanan
Dinas);
d. menguji surat pernyataan tanggung jawab (SPTB) dari kepala
kantor/satker atau pejabat lain yang ditunjuk mengenai tanggung
jawab terhadap kebenaran pelaksanaan pembayaran;
e. menguji faktur pajak beserta SSP-nya;
(3) Pengujian formal dilakukan untuk:
a. mencocokkan tanda tangan pejabat penandatangan SPM dengan
spesimen tandatangan;
b. memeriksa cara penulisan/pengisian jumlah uang dalam angka
dan huruf;
c. memeriksa kebenaran dalam penulisan, termasuk tidak boleh
terdapat cacat dalam penulisan.

Pasal 12
(1) Keputusan hasil pengujian ditindak lanjuti dengan :
a. Penerbitan SP2D bilamana SPM yang diajukan memenuhi syarat
yang ditentukan;
b. Pengembaliaan SPM kepada penerbit SPM, apabila tidak
memenuhi syarat untuk diterbitkan SP2D.
(2) Pengembalian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir b
diatur sebagai berikut:
a. SPM Belanja Pegawai Non Gaji Induk dikembalikan paling lambat
tiga hari kerja setelah SPM diterima;
b. SPM UP/TUP/GUP dan LS dikembalikan paling lambat satu hari
kerja setelah SPM diterima.

Pasal 13
(1) Pengesahan Surat Perintah Membayar Penggantian UP (SPM-GUP)
Nihil atas TUP dilaksanakan KPPN dengan membubuhkan Cap pada
SPM GU Nihil “telah dibukukan pada tanggal …….oleh KPPN” dan
ditandatangani oleh Kepala Seksi Perbendaharaan.
(2) Penerbitan SP2D wajib diselesaikan oleh KPPN dalam batas waktu
sebagai berikut:
a. SP2D Gaji Induk diterbitkan paling lambat lima hari kerja sebelum
awal bulan pembayaran gaji.
b. SP2D Non Gaji Induk diterbitkan paling lambat lima hari kerja
setelah diterima SPM secara lengkap.
c. SP2D UP/TUP/GUP dan LS paling lambat satu hari kerja setelah
diterima SPM secara lengkap.
(3) Penerbitan SP2D oleh KPPN dilakukan dengan cara:
a. SP2D ditandatangani oleh Seksi Perbendaharaan dan Seksi
Bank/Giro Pos atau Seksi Bendum.
b. SP2D ditebitkan dalam rangkap 3 (tiga) dan dibubuhi stempel
timbul Seksi Bank/Giro Pos atau Seksi Bendum yang disampaikan
kepada:
1) Lembar 1 : Kepada Bank Operasional.
2) Lembar 2 : Kepada penerbit SPM dengan dilampiri SPM yang
telah dibubuhi Cap “ Telah diterbitkan SP2D tanggal ….
Nomor …).
3) Lembar 3 : Sebagai pertinggal di KPPN (Seksi Verifikasi dan
Akuntansi), dilengkapi lembar ke-1 SPM dan dokumen
pendukungnya.

Pasal 14
Daftar Penguji (format sebagaimana lampiran 13) dibuat dalam rangkap 3
(tiga) sebagai pengantar SP2D dengan ketentuan:
a. Ditandatangani oleh Kepala Seksi Bank/Giro Pos atau Seksi Bendum
dan diketahui oleh Kepala KPPN serta dibubuhi stempel timbul kepala
KPPN.
b. Lembar kesatu dan lembar kedua dilampiri asli SP2D dikirimkan
melalui petugas kurir KPPN ke BI/Bank Operasional /Sentral Giro.
c. Daftar penguji lembar kedua setelah ditandatangani oleh BI/ Bank
Operasional/ Sentral Giro dikembalikan kepada KPPN melalui petugas
kurir yang sama.
d. Daftar penguji lembar ketiga sebagai pertinggal di KPPN.

BAB VI
PELAPORAN REALISASI ANGGARAN

Pasal 15

Untuk keperluan penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN diperlukan antara lain data realisasi APBN, arus kas, neraca, dan
catatan atas laporan keuangan. Untuk keperluan tersebut, maka:
a. Kepala kantor/satker selaku Unit Akuntansi Kuasa Pengguna
Anggaran (UAKPA) wajib membuat Laporan Realisasi Anggaran dan
Neraca serta Arsip Data Komputer (ADK) yang dikelolanya kepada
Menteri/Pimpinan Lembaga secara berjenjang melalui Unit Akuntansi
Pembantu Pengguna Anggaran tingkat Wilayah (UAPPAW) dan
kepada KPPN setempat.
b. Kepala KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara wajib membuat
Laporan Kas Posisi (LKP) harian dan mingguan yang disampaikan
kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan u.p. Direktur Pengelolaan
Kas Negara dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
c. Kepala KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara wajib membuat
laporan bulanan realisasi anggaran, arus kas dan neraca kepada
Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan, untuk diproses
dan selanjutnya diteruskan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan
u.p. Direktur Informasi dan Akuntansi.
d. Laporan yang menyangkut dengan realisasi APBN lainnya sepanjang
belum dicabut dan masih diperlukan tetap dilaksanakan.

BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 16
(1) Pembayaran Uang Duka Wafat/ Tewas (UDW/T) dibebankan pada
MAK uang duka wafat/ tewas, tanpa memperhatikan pagu dana yang
tersedia pada MAK berkenaan.
(2) Untuk mengawasi kredit pagu DIPA baik belanja pegawai maupun non
belanja pegawai, KPPN wajib membuat Kartu Pengawasan Kredit
dengan ketentuan:
a. Kartu pengawasan terdiri dari Kartu Induk Pengawasan Kredit
(lampiran 14-1), Kartu Pengawasan Per Kelompok Jenis Belanja
(lampiran 14-2), dan Kartu Pengawasan Belanja Pegawai
Perorangan (lampiran 14-3).
b. Kartu Pengawasan dibuat per satuan kerja/Kegiatan/Sub
Kegiatan/Jenis Belanja.
c. Pada setiap akhir tahun anggaran Kartu Pengawasan ditutup
dengan diberi catatan: “saldo terakhir sebesar …., dana UP/TUP
yang belum disetor sebesar …..” serta ditandatangani oleh Kepala
Seksi Perbendaharaan dan diketahui Kepala KPPN.
(3) KPPN wajib membuat Kartu Pengawasan kontrak (format
sebagaimana lampiran 15) untuk kontrak yang pembayarannya
dilakukan dengan termin atau sertifikat bulanan.
(4) SKPP pegawai pindah diterbitkan oleh kepala satker dalam rangkap 4
(empat) dan disampaikan kepada KPPN untuk disahkan oleh kepala
seksi perbendaharaan dan dibuatkan surat pengantar yang
ditandatangani oleh Kepala KPPN dengan penjelasan:
a. lembar pertama dan ketiga dikembalikan kepada satker
bersangkutan, selanjutnya lembar pertama diteruskan kepada
pegawai yang bersangkutan dan lembar ketiga diteruskan kepada
satker yang baru;
b. lembar kedua dikirimkan oleh KPPN asal kepada KPPN/kantor
pembayar berikutnya;
c. lembar keempat untuk arsip KPPN asal.
(5) SKPP pegawai pensiun diterbitkan oleh kepala satker dalam rangkap
6 (enam) dan disampaikan kepada KPPN untuk disahkan oleh kepala
seksi perbendaharaan dan dibuatkan surat pengantar yang
ditandatangani oleh Kepala KPPN dengan penjelasan:
a. lembar pertama dan lembar kedua dikirim kepada PT. Taspen
(Persero)/PT. ASABRI (Persero);
b. lembar ketiga diserahkan kepada pegawai yang bersangkutan;
c. lembar keempat dikirimkan kepada Kanwil Ditjen Perbendaharaan
yang mewilayahi PT. Taspen (Persero)/ PT. ASABRI (Persero)
yang membayar pensiun;
d. lembar kelima sebagai arsip Bendahara Pengeluaran;
e. lembar keenam untuk arsip KPPN.
(6) Bendahara Pengeluaran wajib membuat pembukuan seluruh transaksi
keuangan yang dilaksanakan pada satker.
(7) Pada setiap awal tahun anggaran Kuasa PA menunjuk PDG yang
bertugas membuat dan menatausahakan daftar gaji dan daftar lembur
satker yang bersangkutan.

Pasal 17
Pada tutup tahun anggaran tanggal 31 Desember atau hari kerja terakhir
apabila tanggal 31 Desember hari libur pada setiap akhir tahun anggaran,
KPPN melakukan pekerjaan penyelesaian akhir laporan realisasi anggaran,
arus kas dan neraca.

Pasal 18
(1) Untuk pembayaran kegiatan yang dananya berasal dari pinjaman dan/
atau hibah luar negeri dilaksanakan sesuai peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan yang berlaku dalam pelaksanaan pinjaman dan/atau
hibah luar negeri.
(2) Ketentuan yang mengatur langkah-langkah pelaksanaan pada tutup
tahun anggaran akan ditetapkan kemudian dengan peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaan.
(3) Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan ini,
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan tanggal 9 Mei 2005
nomor PER-02/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan
Pembayaran Atas Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara
dan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan tanggal
1 September 2005 nomor PER- 24/PB/2005 tentang Perubahan Atas
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor PER-02/PB/2005
tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran Atas Beban Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Negara, serta semua peraturan yang
mengatur mekanisme pembayaran dalam pelaksanaan APBN yang
ditetapkan Direktur Jenderal Anggaran dan Direktur Jenderal
Perbendaharaan yang tidak sesuai dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 19
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan ini akan diatur tersendiri.

Pasal 20
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengumuman Peraturan
Direktur Jenderal Perbendaharaan ini dengan penempatannya dalam berita
negara Republik Indonesia


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal Desember 2005
Direktur Jenderal
Mulia P. Nasution
NIP 060046519

Tidak ada komentar:

Posting Komentar